Menghadapi Covid-19 menguras banyak energi. Yang tetap di rumah ditantang untuk bersabar dan yang harus keluar untuk tetap bekerja pun ditantang dengan ancaman kehidupan yang berbeda. Keduanya membutuhkan kesabaran untuk masing-masing bertahan atau mengalah. Boleh jadi keberlangsungan keberanian orang-orang keluar rumah dan kesabaran orang-orang yang tinggal di rumah adalah bagian dari keseimbangan yang sunnatullah.
Tetaplah bersabar, meskipun pada saat itu hasil yang kita harapkan malah semakin menjauh. Apalagi jika keberhasilan yang diharapkan itu teranggap terganggu oleh ketidaksabaran orang lain. Maka tetaplah bersabar, sebab kesabaranmu itu bukan untuk mengendalikan orang lain. Tetapi untuk menjaga keseimbangan dirimu sendiri.
Jagalah sebagaimana engkau mengatur nada dalam nyanyian yang intinya harus tetap seimbang, seribut apapun para penggemar berteriak di bawah sana. Bernyanyilah dengan sepenuh penghayatan seperti nyanyian Bugis Ininnawa Sabbarae. Sebuah ajakan untuk menanamkan kesabaran dalam diri, meski situasi begitu rumit, atau sedang tidak menguntungkan.
Ininnawa sabbara’e duhai hati yang diliputi kesabaran
Lolongeng gare’ deceng kelak akan mendapat kebaikan
Ala tosabbara ede duhai orang yang sabar
Pitu taunna sabbara’ tujuh tahun sudah aku bersabar
Tengngi na engka ulolongnen tak kunjung jua kudapati
Allaa riasengnge deceng duhai yang namanya kebaikan
Deceng enre’ ki ri bola duhai kebaikan naiklah ke rumah
Teng jali teng tappere tanpa alas tanpa tikar
Alla banna mase-mase duhai sederhana tampak mengibakan
Mase-mase iko naga engkaukah itu kesederhanaan
Nigaro musilaongang siapakah yang engkau temani
Alla mutellu sitinro mengapa engkau beriring bertiga
Tellu memengnga si tinro memanglah saya beriring bertiga
Nyawaku na tubukku nyawaku bersama dengan tubuhku
Alla dua temmassarang duhai itu dua hal yang tak terpisahkan
Aga guna masarae apa guna bersedih
Ku pura makkui totoe kalau sudah begitu takdirnya
Alla pura Napancajie duhai yang sudah diciptakan-Nya
Entah kesabaran apa yang bisa bertahan selama tujuh tahun, tapi begitulah bunyi syair lagu ini yang menggambarkan teguhnya kesabaran yang tak lekang oleh waktu. Apakah kemudian kesabaran yang panjang itu berujung kesedihan semata? Syair lagu ini jelas menyatakan kesedihan tiadalah berguna jika itu sudah ketentuan Tuhan. Bahkan jika kamu memandang curiga, cemburu atau berburuk sangka dengan saya yang selalu berjalan beriring bertiga.
Siapakah yang berjalan beriring bertiga itu? Istilah bugis menyebutnya dengan kalimat tellu temmallaiseng–dua temmassarang. Duhai ini adalah perkara yang sulit dijelaskan. Secara sederhana syair lagu di atas mengungkap sedikit dua temmassarang adalah nyawa dan tubuh. Penyederhanaan dalam karya sastra lumrah dilakukan untuk kepentingan struktur kalimat, atau untuk memudahkan penyampaian pesan. Bahwa dua temmassarang itu adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dua temmassarang adalah filosofi hidup orang Bugis yang kemudian para penganut tasawuf terkadang menyamakannya dengan konsep wahdatul wujud. Duhai saya tidak akan menjelaskan wahdatul wujud disertai perbedaan dan kesamaannya dengan dua temmassarang.
Intinya, dua temmassarang dapat diamati dari kehidupan orang Bugis yang sarat dengan kearifan lokal yang terwariskan secara turun-temurun. Misalnya terkait cara-cara mereka untuk menjaga hubungan dengan alam. Cara-cara yang kemudian dihabisi oleh kelompok keagamaan atas nama ‘gerakan pemurnian agama’.
Ketika seseorang mengalami geruk-gerukeng yaitu gangguan kesehatan atau sakit yang diakibatkan karena kesalahan seseorang terhadap alam. Biasanya diselesaikan dengan usaha memperbaiki kembali hubungan baik dengan alam. Misalnya, seorang anak mengalami panas tinggi, usai berjalan-jalan di hutan dengan tanpa sengaja mematahkan sebuah ranting pohon untuk sekedar dipermainkan. Ranting itu dipukulkannya ke kiri dan ke kanan sepanjang jalan, dan ketika bosan ranting itu dicampakkannya begitu saja.
Seorang sanro dengan kemampuan pakkarawa yang dimilikinya, akan segera mengetahui penyebab sakitnya adalah karena sikap yang tidak bersahabat dengan alam. Karena itu, dimintalah kepada keluarganya untuk melepas ayam di hutan. Sang anak kemudian diberi minum dengan air yang sudah dijampi-jampi. Perlakuan melepas ayam itu kemudian diteriaki khurafat, syirik, dan kafir.
Padahal sesungguhnya perlakuan itu tidaklah berhubungan langsung dengan pengobatan dan kesembuhan orang sakit. Tetapi perlakuan itu adalah kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan hidup dengan alam atau dengan makhluk lain sebagai manifestasi dari dua temmassarang.
Jadi manifestasi dua temmassarang adalah kesabaran di atas cinta, dan nyanyian adalah ekspresi cinta dan nada keseimbangan. Duhai perkara sulit ini kawan. Begini sajalah, cinta itu saling memiliki, selalu ingin bersama, tidak saling menyakiti dan butuh kesabaran untuk menjaga itu semua. Lalu apa hubungannya dengan nyanyian.
Asal kata nyanyian dalam bahasa Arab itu disebut ghina sama penyebutannya dengan orang kaya yang juga berasal dari akar kata ghina. Ghina itu adalah adaptasi nada dari keseimbangan alam, seperti suara hembusan angin, gemercik tetesan air, siulan dedaudan melambai, simponi burung-burung berkicau.
Awalnya manusia menirunya dengan mulut, gerakan tangan yang berkembang dengan penggunaan alat, sampai terciptalah alat-alat musik tiup, gendang, dan seterusnya. Semuanya berasal dari susunan dan tatanan yang seimbang. Karena itu orang yang memiliki harta yang banyak harus membagi hartanya kepada yang miskin, agar terjadi keseimbangan, makanya orang kaya disebut juga ghina.
Keseimbangan juga harus dijaga dengan konsistensi antara prinsip yang tertanam dalam hati, perkataan yang diucapkan dan perbuatan yang dilakukan, itulah yang dimaksud dengan tellu tammallaiseng. Jadi prinsip cinta dan keseimbangan dua temmassarang ditekuni dengan sabar melalui ada tongeng, lempu, dan getteng. Jujur terus terang dan tegas, yaitu bersatunya kata hati dengan perbuatan.
Muh. Subair, Pengurus LTN NU Sulawesi Selatan & Peneliti Balitbang Agama Makassar